Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berfikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Berpikir Deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi (Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. (Filsafat Ilmu.hal 48-49 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Pada induksi kita berjalan dari bukti naik ke undang. Pada cara deduksi adalah sebaliknya. Kita berjalan dari Undang ke bukti. Kalau kita bertemu kecocokan antara undang dan bukti, maka barulah kita bisa bilang, bahwa undang itu benar.
Kalau kita sudah terima, bahwa semua benda kehilangan berat dalam semua cair, maka kita ambil satu benda dan satu zat cair buat penglaksanaan. Kita ambil sepotong timah, kita timbang beratnya di udara. Kita dapat B gram. Kita masukkan timah tadi ke dalam air. Kita timbang beratnya air yang dipindahkan oleh timah tadi, kita dapati b gram. Menurut undang Archimedes timah tadi mesti kehilangan berat b gram. Jadi ditimbang dalam air, beratnya menurut Archimedes mestinya (B-b) gram. Sekarang kita ambil beratnya dan timbangan timah yang terbenam tadi. Betul kita dapat (B-b) gr. Jadi betul cocok dengan undang Archimedes. Sekarang induction sudah beralasan deduction, kebenaran undang sudah di sokong oleh penglaksanaan. Berulang-ulang kita lakukan pemeriksaan kita dengan benda dan zat cair berlainan dan berulang-ulang kita saksikan kebenaran undangnya Archimedes, pemikir Yunani itu. (Madilog. hal 104. Tan Malaka, Pusat Data Indikator).
Berpikir Induktif
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 444 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.
Buat contoh penegasan kita kembali pada masyarakat Yunani, masyarakat yang sebenarnya merintis kesopanan manusia. Lama sudah terpendam dalam otaknya Archimedes, pemikir Yunani yang hidup 250 tahun sebelum Masehi, persoalan: apa sebab badan yang masuk barang yang cair itu, jadi enteng kekurangan berat? Ketika mandi, maka jawab persoalan tadi tiba-tiba tercantum di matanya dan kegiatan yang memasuki jiwanya menyebabkan dia lupa akan adat istiadat negara dan bangsanya. Dengan melupakan pakaiannya, ia keluar dari tempat mandinya dengan bersorak-sorakkan “heureuka” saya dapati, saya dapati, adalah satu contoh lagi dari kuatnya nafsu ingin tahu dan lazatnya obat haus “ingin” tahu itu. Archimedes menjalankan experiment yang betul, ialah badannya sendiri, yang jadi benda yang dicemplungkan ke dalam air buat mandi. Dengan cara berpikir, yang biasa dipakainya sebagai pemikir besar, ia bisa bangunkan satu undang yang setiap pemuda yang mau jadi manusia sopan mesti mempelajari dalam sekolah di seluruh pelosok dunia sekarang.
Menurut undang Archimedes, maka kalau benda yang padat (solid) terbenam pada barang cair, maka benda tadi kehilangan berat sama dengan berat zat cair yang dipindahkan oleh benda itu.Tegasnya kalau berat Archimedes di luar air umpamanya B gram dan berat air yang dipindahkan oleh badan Achimedes b gram, maka berat Archimedes dalam air tidak lagi B gram, melainkan (B-b) gr.
Dengan contoh dirinya sendiri sebagai benda dan air sebagai barang cair, maka simpulan yang didapatkan Archimedes dalam tempat mandi itu belumlah boleh dikatakan undang. Semua benda dalam alam, kalau dicemplungkan ke dalam semua zat cair mestinya kekurangan berat sama dengan berat-zat cair yang dipindahkan oleh benda itu. Kalau semuanya takluk pada kesimpulan tadi, barulah kesimpulan itu akan jadi Undang dan barulah Archimedes tak akan dilupakan oleh manusia sopan, manusia yang betul-betul terlatih sebagai bapak undang itu. (Madilog. hal 100-101 Tan Malaka, Pusat Data Indikator).
Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis.
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, kemudian pada tahap pengujian hipotesis proses induksi mulai memegang peranan di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah suatu hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sehingga kemudian hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak.
Maka dapat disimpulkan bahwa nalar deduktif dan nalar induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.
0 komentar:
Post a Comment